Modernis.co, Malang – Indonesia “Negara dengan Islam terbesar di Dunia” lalu apakah hak asasi manusia dalam beragama dibungkam? Mayoritas memanglah kekuatan yang tak bisa diremehkan, lantas apakah harus berbuat diskriminatif pada yang berbeda.
Padang, video adu argumen antara orangtua murid dengan wakil kepala SMK Negeri 2 Padang viral di media sosial. Orang tua dan pihak sekolah beradu argumen soal kewajiban siswi memakai jilbab di sekolah termasuk yang nonmuslim.
Dalam akun Ellianu di facebook mengunggah video tersebut pada hari Jumat (22/01/2021), dalam video tersebut Ellianu memaparkan bahwa dirinya dipanggil oleh pihak sekolah lantaran anaknya yang tidak menggunakan jilbab saat bersekolah.
Di video tersebut Ellianu juga memaparkan bahwa dirinya dan anaknya adalah nonmuslim tapi mengapa anaknya masih disuruh untuk mengenakan jilbab? Pihak sekolah pun menuturkan bahwa itu adalah peraturan sekolah.
Para orang tua pun sudah menteken peraturan tersebut saat mendaftarkan anaknya ke sekolah karena ini termasuk dalam peraturan berpakaian. Ellianu pun mempertanyakan “Bagaimana jika anak ibu dan bapak dipaksa untuk mengikuti aturan yayasan? Tidak apa jika itu yayasan, tapi ini negeri bagaimana bisa seperti itu?”.
Dan pihak sekolah juga mengelak dengan mengatakan ini adalah hal yang melanggar peraturan sekolah dan janggal jika ada siswi yang tidak menggunakan jilbab ke sekolah. Terakhir Ellianu mempertanyakan darimana aturan ini dibuat karena sebenarnya ini telah meganggu privasi seseorang dan melanggar HAM, tentu bisa juga di tuntut ke rana hukum. Sebagai mana ellianu juga menunjuk seorang pengacara untuk meneruskan perkara ini.
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”): … Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Sebagaimana penjelasan diatas bahwa negara menjamin warganya untuk memilih agama apapun. Maka dari itu tidak ada instansi kepunyaan negara manapun yang berhak mengatur agama seseorang dengan paksaan dan tidak adanya perjanjian antara kedua belah pihak.
Pengaturan Hak Kebebasan Beragama dalam RUU KUHP.Mengamati RUU KUHP, khususnya berkaitan dengan pasal-pasal yang memuat soal tindak pidana terhadap agama terkesan tiga hal. Pertama, bahwa RUU ini sangat ambisius mengatur soal agama. Pada UU KUHP sebelumnya masalah agama hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 156 a tentang tindak pidana terhadap tindakan penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia.
RUU sekarang merumuskan soal agama dalam suatu bab khusus yang dinamakan Tindak Pidana terhadap agama dan kehidupan Beragama, terdiri dari dua bagian. Pertama, soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; dan kedua, soal tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah.
Seluruhnya tercakup dalam 8 pasal, yakni pasal-pasal 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, dan 348. Kedua, RUU ini sangat rinci mengatur soal kehidupan beragama. Mungkin tujuan semula dari para penyusun RUU tersebut adalah agar ketentuan dalam pasal-pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama itu tidak menjadi pasal karet.
Dapat ditafsirkan sesuai keinginan siapa saja sehingga menyulitkan bagi hakim atau pengambil keputusan untuk menetapkan keputusan yang adil dan diterima semua pihak. Akan tetapi, meskipun semakin rinci bunyi pasal-pasal tersebut tetap saja multitafsir.
Sebab, agama adalah hal yang sangat abstrak karena berada di wilayah yang paling privat dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, agama sangat terbuka untuk penafsiran, tergantung siapa yang menafsirkan dan motivasi apa yang bermain di balik penafsiran itu.
Ketiga, RUU ini sangat diskriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi atau kelompok minoritas sehingga dapat menjadi pembenaran bagi munculnya kekerasan atas nama agama,Sebab, ada kesan mendalam bahwa pasal-pasal dalam RUU itu hanya melindungi agama, masyarakat, negara dalam konteks peraturan yang berlaku saat ini di tanah air.
Dengan demikian, perlindungan dan proteksi yang dibangun dalam RUU ini hanya ditujukan kepada agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah melalui berbagai peraturan, yaitu 6 agama saja: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Maka dari itu menurut penjelasan-penjelasan di atas yang merujuk kepada dasar hukum yang digunakan di Indonesia, masalah yang dipaparkan diatas yang menyinggung masalah dalam beragama seseorang adalah sesuatu yang tidak etis dibahas dan di permasalahkan. Dikarenakan Indonesia adalah negara yang menganut kesatuan dan keberagaman.
Tidak sepatutnya sekolah negeri yang berada di bawah naungan pemerintah daerah membuat peraturan yang bersebrangan dengan Undang-Undang negara.
Oleh: Ahmad Haidar Mumtazan (Kader Imm Tamaddun FAI UMM)